Hati-Hati dalam Berbagi di Media Sosial
May 27, 2014Sumber: enhance.comlab.co.id |
Tidak bisa dipungkiri lagi kalau jaman sekarang manusia dan internet ibarat monyet dan pisang. Banyak orang bilang, gak punya akun di medsos itu cupu. Oh yeah? Justru banyak artis beken seperti Jennifer Laurance dan Shailine Woodley gak punya akun instagram. Tapi yasudah, eksistensi setiap orang berbeda-beda dan memang, termasuk saya sendiri, ingin mendapat pengakuan "keberadaan" dari orang lain.
Banyak penelitian yang tidak lepas dari wacana "efek kemajuan teknologi" yang membahas perubahan-perubahan kebudayaan di masyarakat. Seperti yang kita tahu, sejak Mark Zuckenberg menciptakan sebuah media sosial yang bisa dimiliki semua orang di planet ini, sebut saja facebook. Facebook dengan konflik itu ibarat gula dengan semut. Dengan hadirnya media sosial yang diawali facebook, pemahaman orang-orang tentang privasi menurun dan mereka berlomba-lomba mengeksplor apa yang ada dalam diri mereka--tidak memandang itu tabu atau tidak. Yang penting: eksistensi terus berlanjut bray!
Kita bisa lihat dari produk media sosial yang makin bertambah, mulai dari facebook, twitter, instagram, path, dan lainnya. Jaman dulu, manusia menulis diary mereka di sebuah buku yang digembok dan menjaganga sangat, sangat hati-hati jangan sampai orang lain tahu. But now? You can see it, justru rahasia-rahasia pribadi yang tabu, bahkan aib pun, mereka bagikan. Ironis.
Jika kita melihat orang yang kita kenal, kita tinggal klik profilnya dan mantengin timelinenya. Kita analisa apa aja sih yang sering dia bagikan, karena sekarang status atau tweet adalah bagian dari apa-yang-dirasakan-pemilik-akun. Gak perlu tanya ke temennya, gak perlu sewa dukun untuk menerawanginya, seperti yang aku katakan tadi, cukup stalking akun medsosnya.
Cukup ironis bagi mereka yang ingin mendapatkan apresiasi dari teman-teman maya mereka dengan membagikan masalah yang seharusnya tidak diungkapkan. Karena memang manusia haus akan masalah dan facebook tidak lepas dari sumber masalah. Seperti war status, saling sindir keras, kemudian penipuan yang berujung kematian. Kita seharusnya tahu mana batasan yang perlu dibagi dan tidak, yang harus dirahasiakan. Bukan hanya rahasia, tapi cara kamu membagi, bahasa kamu, pilihan kata-kata yang kamu bagikan, berpengaruh besar pada penilaian orang tentang kamu.
Misalnya saja, di dunia nyata kamu itu sangat sangat berkarisma. Disegani oleh semua orang dan sikapmu menjadi teladan. Tapi ketika bertemu dengan dunia maya, apa saja yang kamu bagikan?
"Malem minggu galau. Gak punya pacar. Oh malangnya nasibku." Bukan maksud menginterupsi, tapi, saya sarankan istilah "jomblo" merupakan identitas untuk anak usia SD dan SMP. Wajarlah, jika anak-anak kencur seperti mereka masih labil dan it's okay mereka mengeksplor kegalauan mereka karena gak punya pacar. Tapi kalau dianalogikan dengan kita yang sudah pubertas dan berpikiran rasional ini, saya rasa keluhan tentang kejombloan udah gak cocok lagi. Seperti baju bayi satu tahun di pakek balita umur tiga tahun, udah kekecilan, udah gak cocok.
Kalau untuk joke, seperti joke yang biasa dipakai 9gag atau MCI, saya rasa itu wajar. Maksudnya, jomblo hanya joke dan bukan keluhan. Jomblo kok dibikin ribet. Just, grow, up.
Yang paling penting, hati-hati dengan sindiran yang kamu bagikan. Karena apa? Karena satu sindirian untuk satu orang bisa jadi semua orang merasakan sindiran itu dan terjadi salah paham dan masalah akan kembali padamu. Jadikan media sosial jalan eksistensimu dengan berbagi pengalaman yang positif. Alay? Okelah, tapi sesuaikan umur. Jangan sampai membuat penilaian negatif, karena apa? Words speak louder than anything. Ketika kamu menulis, kamu tanamkan perasaan dan ideologimu disana, dan kamu bagikan bagian dari dirimu ke orang lain. Intinya, apa yang kamu bagikan efeknya akan kembali ke dirimu sendiri.
0 comments