Banyak orang yang bilang, menjalani hubungan yang lama pastinya dipenuhi dengan jalan berlika-liku, dihempas dan terombang-ambing oleh ombak asmara, terdampar di pesisir amarah, lalu bertemu kembali di titik yang sama setelah tersesat di hutan belantara. Banyak juga yang bilang, hubungan yang setenang sungai nil mengalir, sehening kelelawar di goa, dan senyaman picnic di savanah, tidak akan sebanding lamanya dengan asumsi yang pertama. Kenapa itu bisa terjadi?
Akhir-akhir ini produktivitas menulis menurun. Kesibukan kuliah bukan alasan yang tepat, tapi karena memang tidak ada hasrat untuk bercerita dan mulai terserang penyakit apatis--yang biasanya memperhatikan dan mencuri pelajaran di waktu dan tempat yang tidak tentukan, sekarang jadi pengangguran, pemalas, dan apatis yang kronis. Salah satu penyebabnya karena dunia baru yang individualis, udah gak sosialis di tempat masa SMA dulu.
Kesukaanku baca buku fiksi dan nonton film gak diragukan lagi. Tiap hari kalau gak pegang buku fiksi rasanya kayak makan bakso tanpa kuah. Begitupun dengan film, kadang tiap malem kalo gak ada tugas bisa nonton dua film sekaligus. Yang aku takutin, gimana kalo hobiku ini justru menguras waktuku yang berharga dan bikin lupa dengan apa yang harus aku kerjakan.
Satu semester setengah, menjadi mahasiswa sudah mengubah pola pikir dari remaja SMA yang gak tau apa-apa jadi anak kuliahan yang tahu apa-apa. Perubahan cara berpikir yang lebih luas, berbeda dengan cara yang pernah dipakai saat duduk di bangku SMA. Kebutuhan juga semakin bertambah, dan mengatur kebutuhan dengan kemampuan itu bukan usaha yang mudah.
Sejak masuk kuliah, yang pertama kali aku rasain adalah minder. Kenapa harus minder? Gimana gak minder, bertemu dengan putra-putri bangsa dari Sabang-Merauke yang berkumpul menjadi satu menempuh pendidikan yang sama. Tentu, beradaptasi dengan mereka juga bukan usaha yang mudah, apalagi mengikuti gaya hidup mereka.
Bagaimana anak dari kampung Genteng bergaul dengan anak Jakarta, Kalimantan, dan Kota Metropolitan lainnya. Menghabiskan tiga belas tahun di Genteng, merasa asing dengan gaya hidup nongkrong di kafe-kafe dan nonton di bioskop. Aktivitas di rumah stagnant, meskipun begitu saya merasa nyaman dan tidak ada ruginya tidak mengenal lifestyle hedonisme. Tapi sejak disini, perlahan semuanya berubah. Bergabung dengan teman-teman yang hobi nongkrong, menyamakan diri untuk fashion yang tentu berkorban materi, dan menghabiskan waktu untuk bersenang-senang. Ada dua pilihan yang sama-sama punya konsekuensi.
- Kamu ikut mereka, kamu punya teman dan peluang mendapat bantuan, tidak merasa sendirian, dan have fun.
- Kamu gak ikut mereka, kamu akan ketinggalan topik yang mereka bicarakan dan terkucilkan dengan sendirinya karena gak pernah gabung sama mereka. Intinya, kamu hidup menyendiri.
Untuk itu, saya memilih jalur tengah. Mengatur waktu dan keungan, memilah mana yang bermanfaat dan tidak, meski itu harus merenggut uang saku sekalipun.Walaupun memang ini masanya ngabisin duit orang tua, tapi kalau dihabisin dengan hasil yang gak bermanfaat buat apa tetep dilanjutin? Untuk itu bagi saya, berbuat disiplin kalau tidak dimulai dari sekarang kapan lagi? Mau nunggu sampai uang habis dan dijerat penyesalan yang gak ada gunanya? Masa iya bayar UKT mahal-mahal, dikasih amanah dari orang tua di rumah, disini dengan cuma-cuma dihabisin untuk mengikuti lifestyle yang gak bermutu. Sayang banget,'kan.
Mulai sekarang saya belajar mengatur keuangan yang usahanya kebanyakan hanya wacana dan mengatur waktu; membedakan waktu belajar serius ngerjain tugas kuliah dengan baca novel berat atau nonton film. Ya, tapi dari semua itu, jangan jadi manusia robot. Maksudnya, jangan terlalu disiplin padahal hidup ini 'kan untuk dinikmati bukan untuk dikeluhkan. Jadilah diri sendiri dan bertanggung jawab atas semua pilihan yang membawa konsekuensi yang berdampak baik atau buruk dalam hidupmu. Seperti kata Ge, This is my life. The purpose of my existence.
Kesehatan adalah faktor utama manusia agar tetap bisa hidup dan menghabiskan waktu usianya dengan mengukir banyak memori dalam hidupnya. Kesehatan juga diberikan oleh karunia dan inayah Tuhan Yang Maha Esa, bersyukur yang masih dapat bernafas dan mencerna makanan dengan normal itu artinya pencipta kalian masih sayang sama kalian. Sedangkan yang berkebutuhan medis, itu ujian yang harus dilalui, Tuhan lebih sayang kepada umatnya yang mau bersabar dan tidak mau menyerah.
Lebih dari setengah penghuni bumi pertiwi ini berusia produktif, didominasi oleh para mahasiswa yang merantau atau tidak merantau. Menjadi mahasiswa bukan hal yang baru tapi awal untuk sebuah perubahan mulai dari fisik, pemikiran, dan tindakan-tindakan yang diambil.