Kota Glenmore, Sepenggal Rindu Peninggalan Belanda

July 23, 2016

Gimana liburan lebarannya? Udah puas ngabisin waktu di kampung? Ngomongin tentang kampung, aku mau bahas kampungku boleh dong ya? Hehe.


Ini sambutan desaku untuk kalian yang mau masuk
Aku tinggal di dua kota kecil di Banyuwangi. Genteng dan Glenmore. Dua kota itu berdekatan kok, cuma satu jam perjalanan aja di tempuh naik motor atau mobil. Genteng itu rumah dimana saya dibesarkan dan sekolah, sedangkan di Glenmore adalah tempat kakek dan nenek, tempat dimana keluarga besar selalu berkumpul.

Meski jaraknya cuma satu jam, dua kota Genteng dan Glenmore itu jauh berbeda lho gengs. Oke, jadi gini, kalo di Genteng itu penduduknya pakai bahasa Jawa-Indonesia. Genteng juga termasuk kota madya, jadi udah punya mol dan banyak institusi pendidikan mulai dari TK sampai SMA. Serba ada deh kecuali bioskop belum ada.
Sedangkan di Glenmore, salah satu kecamatan di Kabupaten Banyuwangi yang paling ujung, dekat dengan Kalibaru, perbatasan antara Banyuwangi dan Jember. Nah biasanya yang mau perjalanan ke Jember selalu lewatin kota ini. Berhubung Glenmore berbatasan dengan Jember, penduduk disini menggunakan bahasa Madura. Dari bahasanya aja, beda 'kan Genteng dan Glenmore?
Di Glenmore, penduduknya mayoritas berladang dan berkebun karena di kota ini ada perusahaan perkebunan yang udah eksis sejak jaman baheula.
Yang bikin aku tertarik bahas Glenmore daripada Genteng, karena Glenmore  punya kearifan lokal yang luar biasa. Khususnya aku mau cerita tentang desa perkebunan di Glenmore, sebut aja Kalirejo-Pegundangan. Gimana ya, pokoknya unik deh. Coba aku jelasin satu-satu ada apa aja sih di kampungku ini.

1. Banyak Yang Merantau

Yang tua berkebun, yang muda merantau. Para orang tua disini menghimpun rejeki dengan bercocok tanam untuk membiayai anak mereka yang merantau, lebih tepatnya untuk biaya pendidikan. Selain merantau pendidikan, banyak juga yang merantau jadi TKI di Malaysia. Pokoknya setengah dari kampungku ini punya kampung sendiri di Malaysia. Believe it or not.

2. Kerja Keras Pangkal Bahagia

Masih berhubungan dengan poin nomor satu. Penduduk di desaku ini para hard worker semua (udah belajar banyak dari mereka). Mereka menghimpun uang banyak untuk hal yang baik. Membangung rumah, beli kendaraan, pokoknya memenuhi kebutuhan tersier mereka dengan tujuan membahagiakan anak cucu mereka. Jadi jangan heran biarpun kondisi penduduknya setengah hutan setengah perumahan, rata-rata rumah disini bagus-bagus, bahkan mobil Fortuner dan Rush sering lalu lalang. Uniknya, anak esde yang masih umur sepuluh tahun pun udah diijinkan naik motor cenglu ke sekolah. Ajaib 'kan?

Rata-rata rumahnya udah direnovasi kayak gini
Eit, hasil itu bukan didapat dari pesugihan atau hal kotor lain. Believe it or not, jam dua atau jam tiga pagi udah banyak para pekerja yang lalu lalang jalan kaki maupun naik sepeda ke hutan. Mereka menyebutnya disini "nderes", jadi semacam mengumpulkan getah karet dari pohonnya. Paginya, mereka pergi ke ladang untuk memberikan pupuk, menjaga hasil panen dari serangan monyet atau babi hutan, dan kalau ada yang ternak sapi ya mau gak mau mereka harus ngarit alias nyari rumput. Super sekali deh orang-orang di desa para pekerja keras semua. Bahkan kakek nenek yang udah ompong pun masih bersemangat membawa aritnya ke hutan.


3. Dari Ujung ke Ujung, Kenal Semua

Pokoknya disini sepanjang jalan itu pasti ada garis keluarganya. Tetangga sebelah itu ternyata sepupunya adik dari kakak ipar yang nikah sama adik dari saudaranya kakek, dan tetangga sebelahnya lagi juga keluarga dari besannya anak dari kakek. Dst. Detail garis keluarganya tuh ribet sampai kayak benang kusut tapi yang penting kita sekeluarga gitu aja deh, beres. 
Biar pun gak punya garis keluarga, disini berasa keluarga semua. Misal salah satu warga ada yang kena musibah, kecelakaan atau pokoknya sampai opname, itu bisa-bisa kamar rumah sakit penuh warga desa. Serius. Satu lorong itu bisa-bisa satu kampung tidur disana semua. Karena ya itu tadi, sangking gedhenya sense of belonging mereka satu sama lain, eakakak.
Pernah suatu kasus, sepeda motor salah satu kampung sini hilang di kota lain. Dalam beberapa hari udah ketemu. Bayangin aja, link satu kampung itu lebih gaib buat nyari satu sepeda motor daripada sekedar broadcast di grup-grup line yang sunyi. Percaya deh.

4. Infrastruktur Berkembang

Yah walaupun desa perkebunan, tapi desa Glenmore ini terus berkembang loh gengs. Mulai dari jalannya aja udah diperbaiki, mulus, bisa ngepot kanan kiri, biasanya disini naik motor kecepatan 80-90 aman-aman aja.

Bisa buat latihannya Rio atau Rozi nih disini
Tapi gak semua jalan mulus, kalo mau ke rumahku harus ngelewatin rintangan besar dulu. Jalannya itu udah gak beraspal lagi dan batunya gedhe-gedhe. Jadi biarpun naik motor Beat berasa jadi ridernya motor trail gitu wkwk.

Ini namanya Gerandong, bisa ngangkut hasil panen orang yang punya ladang
Disini juga dibangun pabrik gula (yang katanya) terbesar se-Asia. Tapi sumpah emang gedhe banget. Sepanjang jalan desa ini berhektar-hektar udah mulai pergantian dari hutan karet jadi kebuh tebu. 
Selain itu juga disini ada Wisata Waduk Sidodadi, akhirnya punya spot wisata yang bisa didatangi orang-orang Banyuwangi. Tentu pembangunan sarana seperti ini menambah devisa desa lho gengs. 

Ini nih wisata waduh sidodadi yang lagi hits di Banyuwangi, letaknya di desaku heheh

5. Dilahirkan dan Dibangun oleh Belanda

Nah, ini poin yang paling berhubungan dengan judul diatas. Jadi, nama Glenmore ini pun didapat dari Belanda. Usaha perkebunannya juga dipelopori oleh Belanda yang kemudian dialihkan menjadi milik pemerintah. Namanya PTP Nusantara XII. Perumahan yang khusus dimiliki oleh perusahaan perkebunan ini sama sekali gak direnovasi gengs, cuma ya rumah ini memang khusus para pekerja kebun. Mulai dari rumah mandornya sampai buruhnya. Bertahun-tahun gak di rubah, jadi keliatan perumahan jaman Belanda dulu kayak gimana.
Sayangnya beberapa spot peninggalan Belanda disini gak di ekspose sih (ya ngapain juga ya warga disana kurang kerjaan mikirnya mengekspose rumah mereka sendiri). Ya makanya disini saya usahakan untuk di ekspose hehe biar kota Glenmore dan desa-desanya lebih maju.

Nah salah satu peninggalan rumah Belanda yang masih dihuni
Nah kalian kalo liat rumah ini mampir yaa hehe
Udah sih itu aja dari aku. Nah, ini ulasan tentang kampungku tercinta. Gimana kampungmu?

You Might Also Like

2 comments

  1. Kemarim dari glenmore aku. Iya memang maju di glenmore. Rindu ke sana lagi. Wisata nya lumayan mulai banyak

    ReplyDelete
  2. Mbak Lidya, salam kenal. Saya Wino. Nggak sengaja ke blog ini gara2 ngetik 'Glenmore' di Google. Terus malah browsing di blog-nya Anda. Glenmore dan Genteng adalah masa kecil, kenangan indah saya antara tahun 1976-1980. Saya tinggal di Kebun Kalikempit PTP XXVI (kala itu) 5 km dari Glenmore dan sekolah saya di SDK Budi Luhur Glenmore dari kelas 1-4 SD sampai Ayah saya meninggal. Terus kemudian saya pindah ke Jember, Surabaya, Jogja, bekerja di Jakarta 23 tahun dan akhirnya sekarang kembali ke kota Jogjakarta. Pingin tahu banyak cerita Mbak Lidya di Glenmore dan Genteng. Karena itu adalah bagian perjalanan hidup saya di masa kecil dan tidak akan pernah terlupakan sampai mati nanti.

    ReplyDelete

Subscribe