Tulisan ini tidak layak dibaca

March 29, 2018


Ini adalah tulisan yang gak layak dibaca. Kamu cuma buang-buang waktu aja disini. Tapi kalau kamu memang mau baca, ada syaratnya. Kamu harus sendiri, dalam keadaan tenang, dan sampai 10 menit ke depan gak ada yang gangguin kamu. 

Tulisan ini sedikit beda dengan tulisan lainnya, ini draft lama yang tiap aku baca, aku selalu ragu untuk klik 'publish'. Lalu aku membagikannya sekarang, karena aku rasa aku sudah cukup umur untuk nulis ini.

Malam ini aku ngobrol dengan teman kerjaku, usianya sudah 29 tahun. Cukup jauh, tapi obrolan kami masih nyambung. Tadinya aku mengajaknya ngopi untuk curhat tentang karir, eh nyatanya topik yang kita bahas tentang cinta dan pernikahan.

Singkat cerita, dia ini wanita asli Malang yang merantau di Jakarta selama tiga tahun. Disana dia punya pacar dan saling mencintai sampai mati, katanya. Lalu ibu di rumah telfon, mau gak mau, dalam waktu dekat harus menikah. Wajar, orang tua mana yang gak panik putrinya yang hampir berusia 30 belum menikah?

"Waktu itu hubunganku sama pacarku complicated lid. Maju mundur. Kita sama-sama sayang. Tapi aneh, dia gak mau perjuangin--maksudnya, dia gak datang ke rumahku untuk minta restu orang tuaku."

"Kebetulan di saat itu juga, mantanku di Malang hubungi aku lid. Waktu aku pulang, aku ketemu sama dia. Dia bilang serius ngajak menikah, dengan tulus. Entah kenapa, prosesnya cepat, kedua keluarga saling bertemu dan tanggal pernikahan sudah ditentukan."

"Aku gak bisa apa-apa lid. Kamu tau, tiap weekend aku ngabisin tabunganku buat ke Jakarta. Ngajak ketemu pacarku yang masih aku sayang, berharap dia mau perjuangin aku. Dia cuma minta pernikahanku batal, tapi aku tanya balik, lalu aku dapet apa? Kalau pernikahanku batal, apakah dia mau menjamin akan lebih baik?"

"Jawabannya tetap sama lid. Aku udah kayak manusia gak punya pilihan selain mati, atau menikah. Tiap aku keluar sama calon suamiku, aku selalu bersikap jahat, berharap dia ilfeel dan batalin nikah. Bener-bener jahat, aku akui itu. Aku berkata kasar, memaki, tapi dia tetep sabar."

"Bahkan H-1 besok aku menikah, aku masih berdoa lid sama Allah ada keajaiban. Bahkan sampai akad pun, aku berharap dia datang dan mengacaukan pernikahan. Rada alay ya dengernya, tapi emang rasanya pengen dibawa kabur entah kemana."

"Kamu tau, waktu pengulu bilang 'sah' rasanya seperti gunung yang meleleh. Air mataku jatuh, aku nangis bukan terharu seperti wanita umumnya. Aku menangisi diri sendiri, sedih, Ya Allah, jadi begini ya takdirku."

"Ketika aku tidur satu ranjang sama dia, rasanya masih gak percaya lid. Ngapain sih kamu disini, kita ngapain disini. Itu kata-kata yang aku ulang tiap mau tidur sama dia."

"Aneh ya lid? Ada orang yang kita perjuangkan, aku udah berkorban banyak. Uang, waktu, dan air mata. Tapi nyatanya yang diperjuangin ampas. Justru ada orang yang baik, sangat baik, yang mau mencintai kita walaupun sebenarnya, ya... kita gak punya rasa ke dia. Justru itu pilihan Allah untuk aku lid, lucu ya?"

--

Baru kali ini aku mendengar langsung; menikah bukan karena cinta. Aku harap aku sudah cukup umur bahas tentang menikah. Bahkan penumpang sebelahku di kereta Tawangalun kemarin berkomentar, "Mbak ini udah gak muda lagi lho. Tau gak mbak, pria itu memilih dan wanita itu dipilih. Jadi ya mbak harus cepet-cepet nikah selagi muda, soalnya pria itu pasti cari yang lebih muda mbak."

Rasanya denger itu pengen marah. Komentar seorang pria yang berprofesi sebagai tentara setelah dia bertanya berapa usiaku. Memangnya se-kodrat itu kah, wanita, cuma punya hak untuk 'dipilih'?

Mamaku gak pernah menuntut atau menentukan kapan aku harus menikah. "Bahagiakan dirimu dulu sebelum membahagiakan orang lain," itu pesan beliau. Pesan itu masih aku pegang sampai sekarang. Aku masih belum bisa membahagiakan diriku sendiri, gimana bisa bahagiain orang lain? Terlebih orang yang aku sayang, sampai mati.

Aku masih susah. Di saat wanita lain menjaga kulitnya dengan baik, aku masih diterpa matahari, kemana-mana naik motor tanpa sarung tangan dan masker. Kalau hujan, ya kehujanan. Aku gak suka pakai mantel, aku juga gak suka pakai sarung tangan. Bukan karena egois, aku bangga melihat tanganku belang. Aku menikmati hujan-hujanan yang berujung masuk angin. 

Aku yakin anak hebat itu lahir dari rahim wanita hebat, dan aku memaknai kata-kata itu dengan baik. Aku belajar sekarang bukan untuk diriku sendiri, aku belajar apa yang bisa aku ajarkan untuk anakku nanti. 

Untuk suamiku, aku janji bakal jadikan dia pria paling beruntung di dunia ini. Aku gak jago masak, tapi aku berusaha jadi ibu sekaligus istri yang bisa diandalkan. Tapi gak bisa sekarang, karena aku masih belajar, masih 'susah'. 

Sampai kapan?

Kalau aku tau jawabannya, mana mungkin aku masih susah begini. Lagian, aku takut kalau suka sama orang, takut gak bisa jadi kenyataan. Karena Allah selalu kasih apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Tiap aku suka dan bener-bener jatuh cinta, tiap malem berdoa dan solawatin namanya, ternyata tetep aja gak dikabulin. Allah tricky banget ya, bener-bener gak mau kasih apa yang kita inginkan. 

Makanya, aku takut kalau aku suka sama orang. Aku takut rasa suka itu jadi keinginan, dan auto-gak dikabulin jadi kenyataan. Tapi mau gimana lagi ya, namanya juga perasaan, bukan sistem yang kodenya bisa diotak-atik. 

Ini tulisanku yang gak layak dibaca. Maaf kalau kamu menyesal baca, bukan salahku kan? Sekian dari tulisan yang gak bermakna dan gak berfaedah ini. Doaku, untukmu yang udah baca sampai huruf ini, semoga kamu mendapatkan apa yang kamu doakan tiap malam. Bukan dia, bukan berarti tak bisa mendapatkan yang lebih baik. 

Paragraf terakhir. Untuk pria yang aku suka (dan yang selalu aku doakan tiap malam), kalau kamu sadar aku menyukaimu, bisa minta tolong pura-pura gak sadar? Karena aku tahu, kamu yang aku inginkan, dan kita gak mungkin bisa bersama :)

You Might Also Like

0 comments

Subscribe