Sindrom fresh graduate dan bagaimana memahami proses

December 10, 2017

Photo by Eutah Mizushima on Unsplash

Hi, buddy. How was your day? Hope you did good things as it used to be.

It has been a long time, mandul gak produktif untuk nulis. Lebih tepatnya nothing to be shared. Miris gak sih, tiba-tiba kita udah ada di ujung tahun 2017. Hitungan hari lagi kita akan ketemu 2018, selanjutnya 2019, dan seterusnya. We know time always running, right? Ngomongin tentang waktu, does time changes you? Sejak Januari 2017 sampai Desember ini, apa kamu berubah? Jauh lebih baik kah? Pencapaian apa yang sudah kamu dapatkan? Akhir-akhir ini liat timeline media sosial, teman seangkatan udah memulai karir yang matang sampai menempuh hidup baru a.k.a married. People have their own way to find happiness, right? Sedangkan aku. Ngapain? Nonton serial, main game moba, jarang update berita. Udah langganan bulanan SCOOP tapi udah jarang baca Marketeers, SWA, Forbes Indonesia, dll. Hasilnya sampai sekarang masih ampas. Itu karena effort-ku gak sebesar teman-teman yang udah seriusin karir mereka di tengah-tengah sindrom fresh graduate. Ngomongin fresh graduate, let me tell you a story.

Jadi udah dari dulu banget, mama nuntut untuk wisuda. "Pokoknya kalau gak wisuda, pikiran mama kamu itu belum lulus!" Surat Keterangan Lulus (SKL) pun gak mempan. Padahal, apakah para orang tua di rumah beserta tetangganya tahu, betapa beratnya beban yang ditanggung seorang fresh graduate yang masih berjuang mencari pekerjaan? Akan semakin berat kalau sudah wisuda, tapi belum dapat tempat yang nyaman untuk berkarir. Intinya sih, jangan sampai kamu kerja di tempat hanya karena tempat itu mau menerimamu. Tapi carilah alasan yang pas kenapa kamu mau di tempat itu.

Trust me, do what you love, love what you do, then believe passion will follow you---itu mantra yang masih sangat sangat berlaku. Ceritanya, aku udah daftar wisuda dari bulan September dan baru keluar jadwalnya Desember ini. Ya, selama itu ngantri wisuda di FISIP Universitas Brawijaya. Tiga bulan lebih! Pas kasih tau informasi itu ke keluarga, orang rumah kegirangan langsung nyiapin budget buat jahit baju, sewa mobil, sampai nge-list siapa aja anggota keluarga yang akan diajak. Somehow, sempat berpikir buat apa sih rame-rame dateng ke wisuda? Itu kan bukan tempat piknik? Cuma selebrasi aja, selebrasi aja! "Lidya, kamu boleh berpikir keluarga kita ndeso. Terlepas judgment kamu itu, keluarga mama sangat bangga melihat anggota keluarganya wisuda. Jadi, kenapa harus malu bawa keluarga banyak?" jelas mama. Dan ternyata, di tanggal yang sama, ada panggilan tes karir di Jakarta. Kalau kamu jadi aku, apa pilihanmu? I know I'm not a good decision maker. But I know, opportunity only comes once. Bisa ditebak, aku batalin ikut wisuda dan lebih memilih ikut tes di Jakarta---yang belum pasti, berkesempatan di tolak, persentase thing to lose itu ada dibandingkan selebrasi wisuda---yang katanya sekali seumur hidup plus jadi buah bibir keluarga di rumah. Karena apa? Karena doaku. Doaku kepada Allah SWT, jangan wisudakan saya sebelum mendapatkan pekerjaan yang mapan, syukur-syukur bisa nyaman. Jadi, saya masih yakin, doa itu masih dalam proses untuk dikabulkan. Jadi teman-teman yang juga senasib kena sindrom fresh graduate, jangan khawatir. Satu-satunya orang yang tau apa yang terbaik untuk kamu adalah kamu seorang. Gak usah pikirin apa kata orang, pikirin aja orang tuamu, berpegang teguh sama keyakinan kamu. Dan ingatlah waktu. Waktu itu lari lho, jalannya pun gak selow. Sekarang kamu masih santai, harap maklum, pencapaian belum banyak karena masih di usia dua puluhan. Tanpa sadar, kamu nanti udah ada di usia 30an, 40an, would you be same person? Good luck for your journey. And, you know what?

As fresh graduate,

We can not expect too much. We only do the best for our own.

You Might Also Like

1 comments

Subscribe