Karena Bahagia Sudah Ada Dosisnya

July 31, 2015

Sumber: www.leihmutter-schaft.de

Beberapa hari ini, terbangun di pagi hari dengan suara rindang burung dan angin yang menggoyangkan ranting pohon. Setelah bersih-bersih rumah, kerjaannya duduk di teras depan dengerin lagu sambil menatap jalanan tak beraspal yang dibelakangnya hamparan hutan. Disana saya merenung dan memikirkan kata-kata yang saya tulis disini.


Ya, saya menghabiskan waktu liburan di kampung. Dimana depan rumah itu barisan pohon karet dan di belakang rumah terdengar suara sungai yang mengalir deras. Rata-rata orang di kampung pekerjaannya sebagai buruh perkebunan atau berladang di kebun sendiri. Kalo ditanya penghasilan mereka berapa, bisa disetarakan dengan uang jajan kamu sehari. Kalo buruh kebun, per hari palingan 25rb. Sedangkan yang berladang, mereka panen minimal tiga bulan. Saya bertanya-tanya, dengan penghasilan sedikit seperti itu, kenapa mereka masih bisa tersenyum dan mengatakan mereka bahagia?


Kita mulai dengan apa itu "kebutuhan". Manusia itu butuh sandang, pangan, dan papan. Orang di kampung sudah memenuhi itu semua. Mereka punya rumah, pakaian yang cukup, dan bisa makan. Mereka gak perlu mengenal apa itu trend fashion atau hits mode, asalkan mereka punya pakaian ganti setiap hari aja sudah cukup. Mereka gak perlu punya rumah yang bertingkat kalo kasur empuk dan selimut hangat cukup melelapkan. Mereka gak perlu makan seafood, sushi, atau kue cubit ketika singkong, sayur pakis, dan ikan tawar yang berenang di sungai siap dihidangkan.


Sekarang kita bandingkan dengan keadaan di kota kapitalis. Dimana lebih dari 50% kehidupan manusia dihabiskan di jalan, terjebak lampu merah kuning hijau yang menyala bergantian. Kebutuhan manusia bukan hanya sandang, pangan, dan papan lagi. Melainkan kebutuhan manusia sangat limitless. Orang yang tinggal di kapitalis, seolah mereka akan mati jika tidak check in di path atau lupa foto dessertnya usai disendok. Penggeseran makna apa itu kemakmuran pun berganti. Orang kota mengukur kebahagiaan seseorang dari seberapa branded benda yang mereka miliki melalui foto yang di share di akun medsos mereka. Meski sudah punya gadget keren, transportasi yang memadai, uang saku yang cukup, dan keluarga. Masih juga ada yang mengacungkan jari tengah ke langit, menuntut keinginan yang mereka anggap sebuah kebutuhan belum terpenuhi.
 

Saya tergelak ketika menyadari bahwa bahagia itu sudah ada dosisnya. Ikan paus yang berenang di dasar laut tidak akan bahagia ketika mendaki gunung meski dia menginginkannya. Karena dosisnya kebahagiaan ikan paus terletak di dasar laut, bukan di daratan pegunungan. Sampai kapan pun si ikan paus ingin mendaki gunung, dia akan mati kalo memang bahagia di tempat yang bukan ditakdirkan untuknya. Begitupun manusia.
Kenapa kamu bersedih tidak bisa makan sushi ketika telur ayam atau cah kangkung sudah cukup membuatmu kenyang. Kenapa kamu memilih disakiti oleh dia yang punya Ninja ketika dia yang masih punya Beat dapat membuatmu tertawa. Kenapa kamu merengek minta iphone6 ketika kamu masih belum yakin dapat membahagiakan orang tuamu nanti. Bahagia itu sudah ada dosisnya. Lalu, kenapa kamu tidak bisa mengganti serba kekurangan dengan rasa bersyukur?

You Might Also Like

0 comments

Subscribe