Me and My Hijab (Part II)

August 16, 2014

 

Entah kenapa, saya memang merasa ada sesuatu yang mengganjal jika saya memakai hijab maupun tidak. Kalau pakai jilbab, saya merasa itu bukan saya. Ketika saya lepas hijab, saya merasa bersalah karena saya ini muslim. Bingung.


Ketika saya mencurahkan isi keraguan dalam hati saya tentang bongkar pasang jilbab yang sering saya lakukan, begini respon teman saya.
"Lid, jilbab itu bukan pilihan. Gak ada pilihan berjilbab atau tidak, yang ada kewajiban. Dari dulu Islam sudah mewajibkan muslimahnya untuk menutupi aurotnya."
Itu kalimat yang sederhana dan indah, namun tepat menusuk. Sama seperti dia menceritakan calon suaminya yang husbandable itu dan sialnya kita dari lama jatuh cinta pada pria itu. Sakitnya dimana? Disini.

Bukan cuma teman, mama pun memberi respon yang sama ketika saya menyatakan keraguan yang sama.
"Lid, andaikan waktu terulang, mama dari SMA pun pakai kerudung. Mama menyesal kenapa waktu kerja dulu gak pakek jilbab. Kamu lho udah baik pakai kerudung, kenapa pengen dilepas?"
"Aku ngerasa ada yang aneh kalau aku pakai jilbab, Ma."
"Aneh gimana?"
"Ya aneh aja."
"Kamu coba baca ini ya. Ini buku tentang wanita tidak berjilbab."
Saya membaca buku itu, dan hukuman yang saya tangkap untuk wanita yang tidak memakai kerudung adalah...ketika masuk neraka mereka akan disiksa dengan rambut digantung. Naudzubilla, scary enough.

Keraguan saya semakin kuat ketika mendapat komentar dari teman dekat. "Lid, kamu kok kelihatan beda ya antara pakai kerudung sama gak pakek kerudung."
"Beda gimana?"
"Perbedaan itu jelas kalau ada di foto. Tapi maaf, aku gak bermaksud menyinggung."
Aku gak tahu dia itu menyinggung karena foto tanpa berjilbabku dianggap full edited (padahal itu asli) atau dia melihat dua karakter yang berbeda pada orang yang sama.

Dan perang batin selalu terjadi. Saya merasa iri kepada teman-teman yang sudah Istiqomah untuk berhijab. Mereka terlihat cantik, anggun, dan indah. Namun ketika bercermin kepada diri sendiri, betapa payahnya komitmen yang saya miliki. Selalu saja, Mau gimana lagi? Justru, saya merasa percaya diri ketika mengenakan mahkota asli. Dan ketika mengenakan kerudung, saya punya tanggung jawab besar untuk menjaga karakter "sebagaimana mestinya" itu. Meskipun banyak yang menyangkal, "Lidya, kamu salah! Bukan itu maksudnya, kamu benar-benar salah!", mau bagaimana lagi. Pikiran itu sudah menjamur di otak saya.
Mama sudah memberi amanah, "Kamu boleh saja gak pakek kerudung dimanapun kamu suka, asalkan satu syarat, di Malang nanti kemana pun kamu pergi WAJIB pakai kerudung." Dan amanah itu tetap saya laksanakan tanpa melanggarnya.


Mungkin saya masih berada di masa transisi. Entah perempuan yang suka bongkar pasang mahkotanya merasakan hal yang sama seperti saya atau tidak. Yang pasti, sama seperti kutipan mainstream lainnya, saya akan benar-benar berhijab ketika saya tidak akan tergoda lagi mengenakan dress pendek atau pikiran "Aku cantik dengan rambut asliku". Saya pasti bisa menentukan sendiri keputusan saya ketika saya beranjak benar-benar dewasa nanti. Hanya saja, untuk saat ini, saya tidak bisa dan terlalu payah untuk memperjuangkan kutipan dari Oscar Wilde, "Just be yourself--everyone else is already taken".

You Might Also Like

2 comments

Subscribe