Seberapa Pantas Kamu Menilai Orang

March 30, 2014



Akhir-akhir ini produktivitas menulis menurun. Kesibukan kuliah bukan alasan yang tepat, tapi karena memang tidak ada hasrat untuk bercerita dan mulai terserang penyakit apatis--yang biasanya memperhatikan dan mencuri pelajaran di waktu dan tempat yang tidak tentukan, sekarang jadi pengangguran, pemalas, dan apatis yang kronis. Salah satu penyebabnya karena dunia baru yang individualis, udah gak sosialis di tempat masa SMA dulu.


Berhubung gak ada kisah hidup pribadi yang dituangkan, jadi aku ambil kisah pribadi teman-teman tapi tetap pakek sudut pandangku sendiri.

Aku punya teman, kemana-mana aku sama dia suka pergi bareng. Yah, namanya juga wanita, kalau udah ngumpul berdua atau lebih ke suatu tempat yang sama, disitulah pembongkaran rahasia digunjingkan. Sebut aja namanya Dora. Dora ini udah setahun pacaran sama Boots. Mereka berdua kuliah di tempat yang sama tapi di jurusan yang berbeda. Disana Dora bertemu dengan Diego. Boot sayang banget sama Dora, tapi Dora goyah karena dirinya sendiri lagi pedekate sama Diego. Yang membuat Dora guncang, pikirannya diselimuti akan pilihan-pilihan yang menunjukkan masa depan. Untuk mendapatkan masa depan yang baik, tentu diperlukan pendamping yang mendukung tercapainya aktualisasi di masa depan. Dengan begitu, pertimbangan antara Boot yang berada di jurusan lebih bawah daripada Diego, akhirnya Dora memihak pada Diego dan meninggalkan Boot yang masih mencintainya.

Dari sepenggal kisah diatas, kita tarik kesimpulan. Bukan salah wanita jika mereka memilih yang terbaik untuk mereka, meski wanita terkadang maju satu langkah menghakimi atas pilihannya sendiri. Wanita itu kodratnya realistis, tapi bukan berarti berhak menentukan takdir orang yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Siapa tahu dia yang kita remehkan suatu saat nanti akan menjadi yang kita banggakan--kalau dia masih milik kita. Kalau sudah kita lepaskan dan dia menjadi top level, what we can do? Ya, melihatnya menjulurkan lidah kemenangan di depan kita, membuat kita menangis menyesal meninggalkannya.

Sebelum mengambil pilihan, sudah semestinya kamu menilai bibit, bobot, atas option yang akan kamu ambil. Dan dalam penilaian, tidak boleh keluar batas. Meski ini melawan pandangan genderku, tapi aku memang kurang setuju dengan memilih masa depan yang hanya kita ketahui sebatas panca indra yang kita punya sekarang. Misalnya, memilih dia yang jurusan X daripada dia yang jurusan Y karena tahu si X akan lebih berhasil daripada Y. Tahu darimana? Sebatas otak berpikir dan sejauh mata memandang, tidak akan mencuri secuil rahasia di masa depan yang sudah diatur.

Aku lebih gak setuju lagi dengan pilihan pria, memilih dia yang lebih sempurna dalam fisik daripada dia yang sempurna psikis. Maka kamu akan menyesal nantinya, kenapa? Karena fisik dapat dibeli dengan mudah, dapat dirombak sesuka hati, dan fisik sifatnya hanya sementara tidak abadi. Sedangkan psikis? Semahal apapun psikiater tidak akan menyempurnakan karakter semudah mengoperasi wajah menjadi secantik barbie.


Dari semua itu, jangan asal menentukan masa depan keberhasilan atau kegagalan orang. Pikirkan dirimu sendiri. Menyangkut pilihan, pilihlan yang sesuai dengan dirimu sendiri, buka mata batinmu, jangan mau dibutakan dengan selimut fisik yang indah dan sempurna. Karena pada akhirnya yang akan merasakan kebahagiaan dan kepedihan adalah dirimu sendiri atas pilihan yang sudah kamu ambil.

You Might Also Like

0 comments

Subscribe