Happy Morning with Grandma and Grandpa (Part I)

May 28, 2013

Selasa pagi pukul 05.00 . Baru aja matiin alarm buat ngelanjutin jadi artis kerajaan dongeng, pintu kamar dibuka tanpa diketuk. Perasaan mulai gak enak.
"Cepet bangun! Jemput ayam-ayam di rumah nenek!" perintah mama tanpa spasi toleransi. Perasaan emang ada benernya.
Gak perlu berkomentar lagi, pagi itu habis solat-mandi-pakek baju-sarapan-minum air putih dan manasin sepeda motor langsung tancap gas. Sekitar jam 7an baru berangkat ke persel (sesudah pegondangan-sebelum karangharjo, glenmore). Berangkatnya sendiri. Just like as usual.


Sampek di rumah nenek, ada kakek yang lagi duduk berjemur dibawah hangatnya sinar mentari pagi. Yang aku suka di rumah nenek, walopun disana bahasa nasionalnya dialek madura, tapi kapanpun aku yang ngajak bicara, mereka berusaha berkomunikasi menggunakan bahasa indonesia karena aku keturunan sana tapi gak bisa bahasa madura cuma ngerti artinya aja. Hehe.
"Assalamu'alaikum, kakek..."
Kakek gak ngerespon. "Kaaakeeeek, Assalamu'alaikuuuuuum....", begitu karena liat kakek gak pakek alat bantu pendengarnya.
"Wa'alaikumsalam..." sahut beliau dengan suara rentanya.
"Kek, aku ketrima kuliah di Malang!"
"Apa?"
"Aku ketrima kuliah di MALANG!"
"Apa?"
Yang ketiga kalinya, aku pinjem speaker tetangga sebelah dan Alhamdulillah berhasil.
"Malang? Mak cek jeuh neh, tak e Jember bein (kok gak di Jember aja)?"
"Di Malang stok cowok ganteng agak banyak kek daripada di Jember."
"Ha?"
"DI MALANG DINGIN KEK DARIPADA JEMBER!"
"Oooh..." kakek manggut-manggut.
"Nenek mana kek?"
"Malang ro benyak apel a 'kan lid?"
'Kek, nenek dimana?"
"Cak en nyaman apel malang ro lid?"
"Kek, nen..."
"Gibeh agi apel malang ya lid kalo kamu kesini lagi."
"Kek..."
"Apah?"
"GIGI KAKEK ITU TINGGAL TUJUH MANA BISA MAKAN APEL????"
"Iya, kakek emang suka yang kecut-kecut gitu apelnya..."
Ambil pisau, belah nadi, THE END!


Karena keadaan dan situasi, dengan berat hati ninggalin kakek yang lagi berjemur di teras depan. Habis ngucapin salam dua kali, akhirnya suara nenek kedengeran dari dapur. Beda dengan kakek, nenek tercintaku ini yang udah berusia 85 tahun lebih indra pendengarannya masih berfungsi. Alhamdulillah.
"Gimana nek? Ayamnya udah siap?"
"Cak en sapah mareh? Congok reh, ajemma gi buruh e panasen (Kata siapa selesai? Liat nih, ayamnya aja baru dipanasin). Kamu, cepet bantuin!"
Aku yakin pupilku membesar liat 6 ayam tergeletak lunglai habis digorok lehernya dan terbujur kaku habis digodhok, asap dan aroma ayamnya keras banget di idung. Melihat pemandangan itu, dalam hati cuma bisa berkoak "Mampus!"

You Might Also Like

0 comments

Subscribe